Katakanlah, Wahai Tuhan pemilik
kekuasaan, Engkau anugrahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau kehendaki dan
mencabut kekuasaan bagi siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang
engkau kehendak, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki, dalam
tangan-Mu segala kebaikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Al-Qur’an
Surat Al-Imron Ayat 26)
Yang saya tulis berikut ini adalah review buku Menjadi Pemimpin Politik (Perbincangan Kepemimpinan Dan Kekuasaan), karangan M. Alfan Alfian.
Buku ini membahas dua tema yang sesungguhnya sudah banyak didiskusikan
sejak jauh di masa lalu, bahkan sejak awal hadirnya peradaban manusia, namun
tetap menarik hingga kini dan di masa mendatang, yakni kepemimpinan (leadership)
dan kekuasaan (power). Dua tema tersebut menyatu ke dalam kepemimpinan
politik.
Ditengah-tengah kelangkaan bacaan tentang kepemimpinan politik, kehadiran
buku ini sangat relevan khususnya bagi para politisi maupun kalangan lain yang
ingin memperdalam wacana kepemimpinan politik. Dengan bahasa yang santai, buku
ini berupaya menjawab banyak pertanyaan seputar kepemimpinan dan kekuasaan. Apa
pemimpin itu? Apa saja yang perlu dibicarakan dalam kepemimpinan? Apakah
kekuasaan itu? Mengapa kekuasaan diperebutkan? Bagaimana pemimpin politik itu
hadir, mewarnai, dan mengelola dinamika politik? Banyak pertanyaan sejenis yang
dijawab dalam buku ini.
Yang menarik dalam buku ini adalah pembahasan tentang gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan adalah pilihan pendekatan yang dipakai pemimpin untuk
memimpin, dalam arti memengaruhi dan menggerakkan yang dipimpin untuk bekerja
secara efektif guna mencapai tujuan organisasi. Dalam teori kepemimpinan, telah
hadir berbagai kajian tentang gaya kepemimpinan diantaranya adalah solidarity
maker dan administrator, otoriter dan demokratis, paternalistik dan
egaliter, formal dan informal, transformasional dan transaksional, serta
proaktif dan reaktif.
Saya akan mencoba menuliskan tiga
model saja yaitu :
Pertama,
Solodarity Maker dan Administrator
Solidarity Maker adalah
gaya kepemimpinan dengan mengedepankan kepekaan emosi dan memupuk kharisma
melalui berbagai pencitraan. Tujuannya adalah menggalang solidaritas dan
dukungan, dengan memperkuat dukungan konstituen dan mempengaruhi sikap swing
voters untuk memutuskan dukungannya.
Administrator adalah gaya
kepemimpinan yang teliti, rasional dan teknis dalam menjalankan fungsi
manajerial. Dalam konteks profesionalisme untuk mengelola administrasi
organisasi (negara) dan pemerintahan, gaya tersebut sangat cocok, karena
kepemimpinan birokrasi sangat membutuhkan gaya kepemimpinan seperti ini.
Herbeth Feith menjelaskan
kepemimpinan Indonesia pada fase 1949-1957 adalah menggunakan gaya kepemimpinan
Solidarity Maker dan Administrator, dimana Soekarno bertipe Solidarity
Maker dan Moh. Hatta bertipe Administrator.
Kedua,
Otoriter dan Demokratis
Baik gaya otoriter maupun demokratis
berkaitan dengan cara pengambilan keputusan serta bagaimana pemimpin
memposisikan diri dan mengembangkan pengaruhnya. Hampir semua pakar
kepemimpinan sepakat bahwa gaya otoriter mengandung sejumlah karakter negative.
Gaya otoriter itu menindas, mempengaruhi pengikut dengan memaksa, meniadakan
inisiatif yang lain, dan memaksa “semua orang” bekerja tanpa kompromi. Menurut
Siagian, seorang pemimpin otoriter akan menunjukkan sikap yang menonjolkan
ke-aku-annya antara lain dalam bentuk :
1.
Kecenderungan
memperlakukan para bawahan sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti
mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
2.
Pengutamaan
orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan
pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahan.
3.
Pengabaian
peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan dengan cara
memberitahukan kepada para bawahan tersebut bahwa ia telah mengambil keputusan
tertentu dan para bawahan itu diharapkan dan bahkan dituntut untuk melaksanakan
nya saja.
Kepemimpinan demokratis itu adalah kepemimpinan yang ideal karena banyak
mengandung unsur positif. Konsekuensi dari gaya ini adalah people centered,
berorientasi pada manusia, bukan pada benda. Siagian mencatat beberapa ciri
gaya kepemimpinan demokratis sebagai berikut :
1.
Memiliki
pandangan, betapa pun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi
organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak berarti apa-apa kecuali dgunakan
dan dimanfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian
tujuan dan berbagai sasaran organisasi.
2.
Dalam
kehidupan organisasional tidak mungkin, tidak perlu, bahkan tidak boleh semua
kegiatan dilakukan sendirioleh pimpinan dan oleh karena itu selalu mengusahakan
adanya pendelegasian wewenang yang praktis dan realistis tanpa kehilangan
kendali organisasional.
3.
Para
bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran
sertanya dalam proses pengambilan keputusan.
4.
Kesunguhan
yang nyata dalam memperlakukan para bawahan sebagai makhluk politik, makhluk
ekonomi, makhluk sosial, dan sebagai individu dengan karakteristik dan jati
diri yang khas.
Ketiga,
Paternalistik Dan Egaliter
Paternalistik adalah sifat yang muncul dari paternalism, yaitu suatu faham
yang mengagungkan hierarki keluarga,. Asumsinya, orang tua harus dihormati dan
ditaati anak-anaknya, dan orang tua punya tanggung jawab untuk membesarkan dan
melindungi anak-anaknya. Dalam masayarakat
Tinjauan
Kritis
Kepemimpinan merupakan hal yang amat dekat dengan
kehidupan kita sehari-hari. Karena pada hakikatnya setiap organisasi, kelompok
maupun komunitas pasti memiliki sistem kepemimpinan,
baik yang secara formal
tertulis berikut dengan struktur organisasi maupun kepemimpinan yang sifatnya
tidak formal. Setiap organisasi, kelompok maupun komunitas membutuhkan seorang
pemimpin (leader) sebagai panutan kehidupan mereka skaligus sebagai penengan
(problem solver) dari setiap masalah yang ada , juga sebagai pengambil
keputusan. Sayangnya, banyak orang
yang masih kurang memahami pentingnya kepemimpinan. Beruntung saat ini ilmu
tentang kepemimpinan mulai diperhatikan sehingga muncullah berbagai training-training kepemimpinan bahkan
muncul pula diklat-diklat kepemimpinan di tingkat kampus dan sekolah.
Kepemimpinan yang paling
populer saat ini adalah kepemimpinan demokratis. Ini ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya
menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dibawah
kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama,
mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri.
Saya
mengutip pendapat Robbins
dan Coulter. Menurutnya gaya kepemimpinan demokratis mendeskripsikan pemimpin yang
cenderung mengikutsertakan karyawan dalam pengambilan keputusan, mendelegasikan
kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan dalam menentukan bagaimana metode
kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan
untuk melatih karyawan. Jika dalam
kepemimpinan politik karyawan dapat diartikan dengan masyarakat, dan dalam organisasi kata
karyawan bisa diartikan sebagai bawahan.
Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis adalah
:
1. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan
keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin.
2. Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk
tujuan kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin
menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.
3. Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka
pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok.
Lebih lanjut ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis yaitu:
1. Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan
organisasi.
2. Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.
3. Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam pujian dan
kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan
semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan
Kesimpulan
Kepribadian pemimpin secara alamiah tidak bisa sesuai
dengan semua situasi karena pemimpin jenis tertentu hanya cocok untuk komunitas
tertentu tidak untuk yang lainnya. Contoh pada kelompok (komunitas) yang
demokrasi, pemimpin yang cocok adalah pemimpin yang pro demokrasi sedangkan
pada kelompok yang konservatif contohnya masyarakat Badui, maka pemimpin yang
cocok adalah tipe pemimpin yang konservatif, skeptis, atau otoriter.
Melihat kenyataan tersebut, seorang pemimpin politik
harus mampu memilih tipe kepemimpinan yang sesuai. Bahkan,
pada prakteknya
terkadang kita memadukan beberapa jenis kepemimpinan sekaligus. Dengan kata
lain, tipe kepemimpinan yang digunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang
terjadi saat itu. Adakalanya kita harus tegas tapi terkadang kita juga harus
lembut terutama pada tipe-tipe manusia tertentu. Contohnya pada tipe manusia
anarkis jika kita menegur mereka dengan kata-kata keras mereka akan melawan
lebih keras bahkan membuat kericuhan. Jadi, sebaiknya dalam menentukan tipe kepemimpinan
kita terlebih dulu harus mengenali karakter dominan dari orang-orang yang kita
bawahi.
Dan tidak lupa Pemimpin politik harus
tahu kapan mulai tampil merebut simpati demi kekuasaan, berprestasi mendulang
dukungan dan sukses lain saat berkuasa, dan tahu kapan saatnya harus lengser.